Si "Aku" yang Mencari Tahu
AKU adalah seorang hamba, sama seperti kita. AKU selalu
bahagia dengan hidupnya. AKU sangat bersyukur dilahirkan dari rahim seorang
wanita tangguh seperti ibunya. AKU hidup dengan baik, meski banyak cobaan
menerpa ia tetap bak batu karang yang gagah memecah hujaman ombak lautan. AKU
tidak pernah menyerah, meski terkadang ia merasa lelah. AKU tidak pernah
menghujat, meski terkadang ia merasa beban hidupnya terlampau berat.
Orang-orang selalu menilai AKU sebagai anak yang baik. AKU
adalah anak yang penurut, ia sangat berbakti kepada orang tuanya. AKU dikenal
sebagai anak yang ramah, seperti seorang hamba yang tak pernah salah. AKU
adalah AKU dengan sejuta pesona membuat orang lain merasa iri padanya. AKU
adalah AKU dimata orang ia selalu bersinar.
Suatu ketika AKU ditanya “Siapa kamu?”, dengan bangga AKU
menjawab. AKU adalah (memperkenalkan dirinya). Aku adalah (memberitahu nama
orang tuanya). Aku adalah (membanggakan profesinya). AKU selalu memperkenalkan
dirinya dengan bangga, ketika ditanya tentang siapakah dia.
Namun ketika suatu problema terjadi, akankah AKU tetap
menjadi AKU? Tidak saudaraku. Ketika sesuatu terjadi padanya, AKU bukanlah AKU,
tetapi Aku.
Aku bertanya pada dirinya, “Siapa aku?” Apakah kalian tahu saudaraku, apa yang ia jawab?
Si Aku terdiam, tanpa sepatah kata ia tercengang. Ia mencari
dalam dirinya, siapakah Aku? Ia bahkan tidak tahu. Ia mengingat kembali, jauh
ke belakang memori, jauh ke dalam diri, siapakah aku sebenarnya. Tahukan kalian
apa yang Aku temukan? Ia menemukan bahwa dirinya adalah setumpuk sampah!
Sungguh memalukan, apalah yang ia sombongkan selama ini?
Allah memberinya pelajaran, bahwa selama ini aku terlalu percaya diri, aku
terlalu menyombongkan diri, aku selalu ujub
dengan dirinya sendiri. Aku lupa bahwa dibalik kebanggaan terhadap dirinya, ada
Allah yang Maha Besar menciptanya sedemikian rupa.
Aku mengingat semua salahnya, semua dosa-dosa yang dilakukannya,
semua kesombongannya, semua kebanggaannya. Ia merasa bahwa ia tidak berharga,
ia tidak bernilai, bahkan ia hanyalah hamba yang kecil jika dibandingkan dengan
ke agungan Rabb-nya. Sungguh malulah aku, ia malu atas semua yang
dilakukkannya. Ia mengaku, bahwa selama ini hidupnya hanya penuh dengan
abu-abu. Ia selalu berusaha menampilkan yang baik, dengan menutupi yang yang
buruk. Ia selalu berusaha terlihat pandai, dengan menyimpan kebodohan. Ia
selalu berusaha terlihat sempurna, dengan menyingkirkan kekurangan.
Aku hanya melihat bahwa hidupnya selama ini hanya abu-abu,
tidak berwarna, tidak indah. Hidupnya hanya dipenuhi dengan hitam dan putih
saja. Semuanya hanya “terlihat” menawan, namun sangat klise ditutupi
kebohongan. Ahh, si aku hanya setumpuk sampah! Ia meninggalkan bekas, ia
meninggalkan bau. Ia tidak bernilai, ia telah terbuang, ia tidak
dibutuhkan. Sejak problema itu, aku
menghukum dirinya sendiri, ia malu pada Rabbnya, pada semua orang yang
dikasihinya. Ia malu pada penilaian baik orang-orang yang melihatnya, mereka
tidak tahu saja si aku seperti apa. Sangat mengerikan jika orang-orang tahu
bagaimana si aku sebenarnya, aku tidak akan pernah bisa membayangkan.
Hingga suatu ketika, aku mencari tahu. Aku mempelajari
sesuatu yang baru. Selama ini aku melupakan, bahwa Allah adalah Maha Pengampun.
Allah memberikan aku teguran, agar aku sadar terhadap apa yang aku lakukan. Aku
menjadi tahu, siapa dirinya, dan bagaimana Tuhannya. Aku ingat betul bahwa ia
hanyalah setumpuk sampah. Namun Allah memberinya celah, sebuah kesempatan untuk
aku belajar dan berubah. Bukankah sampah dapat di
daur ulang, hingga akhirnya menjadi hal yang bernilai? Aku tidak akan melupakan hal itu. Aku kini tahu arah jalan pulang,
ia tahu ke arah mana seharusnya ia berjalan. Allah menjadi penerang,
menunjukkan jalan, dan semoga dimudahkan untuk aku berjalan. Aamiinn ya Rabbal
alamin.
Komentar
Posting Komentar