Maka Lihat Sisi Baiknya


Pernahkah kamu berbuat baik, namun tidak seorangpun menghargainya? Pernahkah kamu tidak bermaksud jahat, namun beberapa orang salah menanggapinya?  Ahh.. tentu saja pernah, bukan? Tentu tidak adil jika hanya aku yang mengalaminya? Hahaha..

Kali ini aku berdongeng persis seperti yang dilakukan guru SMK-ku dulu, bukan untuk menghantarmu tidur, melainkan hanya untuk berbagi, semoga baik aku ataupun kamu, kita mendapat suatu pelajaran yang berarti. 

Suatu siang sekitar lima tahun yang lalu, kalau tidak salah tepatnya di tahun 2012. Ketika itu di kelasku tidak ada mata pelajaran alias jam kosong. Kelasku terkenal paling ribut di antara kelas lain, namun juga terkenal dengan kelas yang paling berprestasi dibandingkan dengan kelas lain. Salah seorang guru BK, Ibu Ria memasuki kelasku dengan setumpuk buku-buku berusaha menertibkan suasana. Sebagian dari kami berpikir akan ada tugas-tugas lagi, seperti biasa kami diminta mencatat berlembar-lembar rangkuman materi hanya untuk mengalihkan fokus yang semula riang (ribut) menjadi gamblang (hening). 

Namun ternyata dugaan kami salah, dengan senyum simpulnya beliau berkata, "Mau ibu bacakan cerita?". Beliau menunjukkan sebuah novel dengan judul "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya" pada kami, sontak saja seraya tidak menolak kami menggangguk mau. Buku tersebut menceritakan sebuah perjalanan hidup seorang bhiksu, Ajahn Bram namanya. Satu demi satu lembaran novel dibukanya, dengan artikulasi jelas dan intonasi yang pas beliau membaca seperti mendongeng pada anak-anaknya, kami mendengarkan dengan saksama. Hingga tiba pada suatu lembar entah halaman berapa, Bu Ria menceritakan isi novel yang menyadarkanku secara pribadi bahwa novel tersebut ternayata "berisi". Isi ceritanya kurang lebih seperti ini:

Membangun tembok dengan batu bata kelihatannya gampang:  tinggal tuangkan seonggok semen, sedikit ketok  sana, sedikit ketok sini. Ketika saya mulai memasang batu bata, saya ketok satu sisi untuk meratakannya, tetapi sisi lainnya malah jadi naik. Lalu saya ratakan sisi yang naik itu, batu batanya jadi melenceng. Setelah saya ratakan kembali, sisi yang pertama jadi terangkat lagi. Coba saja sendiri!

Setelah berusaha keras, ia (Ajahn Bram) akhirnya bisa membangun sebuah tembok. Namun setelah jadi, ia melihat ada dua batu bata yang jeleknya minta ampun berada disana! Melenceng, keluar jalur dan sangat tidak enak dilihat!

Siapa yang tidak naik darah?

Ia marah melihat bahwa hasil karyanya tidak sempurna, dan mengutarakan keinginannya pada guru besarnya Ajahn Chah untuk merobohkan tembok itu dan membangunnya dari awal. Tapi gurunya mengatakan bahwa biarkan batu bata itu seperti pada tempatnya. Tak perlu dirubuhkan dibangun ulang. Lalu setiap ada orang yang mungkin ingin memberikan donasi dan berkeliling melihat, Ajahn Brahm selalu menghindari mereka melewati tembok itu, malu katanya, karena ia sangat-sangat tidak suka dengan hasil karyanya yang buruk itu.

Suatu hari ada seseorang yang berkeliling dan menemukan kedua batu bata jelek itu. Taukah apa yang dikatakan seseorang itu?

“Itu tembok yang indah.” Katanya santai.

Ajahn Brahm berkata, “Pak, apakah kacamata Anda tertinggal di mobil? Apakah penglihatan anda sedang terganggu? Tidakkah anda melihat dua batu bata yang jelek yang merusak keseluruhan tembok itu?”

Orang itu menjawab, “Ya, saya bisa melihat dua batu bata jelek itu, namun saya juga bisa melihat 998 batu bata yang bagus.”


Apa yang dapat kita petik dari cerita di atas?

Sebagai manusia kita seringkali lalai, kita seringkali lupa, bahwa kita tidak sempurna. Tak seorangpun dari kita yang tidak pernah melakukan kesalahan. Bahkan seorang bhiksu (pemuka agama) sekalipun. Kita seringkali melihat satu kesalahan orang lain diantara banyaknya kebaikan yang pernah kita terima darinya. Seperti Ajahn Bram yang hanya fokus pada dua batu bata jeleknya, dibandingkan 998 batu bata yang bagus. 

Bukankah ada baiknya jika kita menarik tali yang kusut sebelum membuangnya? Bukanlah lebih baik kita menghapus goresan tinta di lembaran kertas putih, sebelum merobeknya? Bukankah lebih baik jika kita melihat kebaikan orang lain sebelum kita menilai dan menghakimi perbuatan buruknya? Setidaknya berdirilah di hadapan cermin, bahkan sisi yang dapat menampakkanmu dengan bentuk simetris yang sama, masih dapat kamu lihat kurangnya.







Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer