Hati Butuh Sedikit Dipaksa


Suatu pagi selepas menyelesaikan tugas rumah, aku menyempatkan diri membuka buku yang aku “jarah” dari seorang teman. Bukunya masih dikemas cantik dalam sampul pembungkus plastik. Dari sampul bertulis judul “Aleppo” karya Rusdi Mathari, bergambar sebuah kota dengan gempuran roket diatasnya. Pikiranku melayang, membayangkan. Pastilah buku ini bercerita tentang perang Aleppo , mengenaskan dan mengundang penasaran.

Satu per satu lembar halaman ku singkab, ku baca baris per baris, kalimat per kalimat. Singkatnya buku ini menceritakan tentang hidup seorang Rusdi Mathari, yang jauh dari aroma peperangan Aleppo dan gambaran hidup mengenaskan para warganya. Meski sudah hampir satu halaman aku baca, tidak banyak hal menarik yang aku temui. Hanya ada beberapa kalimat yang lumayan menggugah hati. Temanku bilang, “Bukunya tidak terlalu bagus dan di luar ekspektasi”. Namun aku berkata, “Taka pa, aku akan membacanya”.

Sebelum tiba di lembaran terakhir, bagaimana mungkin kita tahu isi dari buku ini? Sampai sekarang aku masih membaca, meski sedikit agak malas membukanya. Tak apalah, aku pikir buku ini lumayan mengisi kekosangan hari (bukan kekosongan hati). Slowly but sure, aku mulai menikmati isi cerita. Ada banyak hal yang tidak aku ketahui rupanya. Latar buku tahun 80 ini memberitahuku banyak gambaran tentang kisah hidup orang dulu. Bagaimana kebiasaan mereka, gaya hidupnya, kondisi pemerintahannya, konflik sejarahnya, bahkan istilah-istilah yang jarang aku dengar turut menyumbang wawasanku. Termasuk tentang kehidupan wartawan, dan kebiasan tulis menulis hidup jurnalis. Menarik.

Meski tidak aku peroleh langsung dari isi cerita buku Aleppo ini, namun dengan sedikit melupakan kemalasan dan memaksa keinginan, aku tahu bahwa terkadang hati butuh dipaksa. Singkatnya, setiap orang punya kesukaan, punya keinginan, juga harapan. Meski tak sedikit dari semua itu yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki. Tetapi nampaknya belajar dari membaca buku milik Rusdi Mathari, masalah hati yang klise dan sulit dipahami ini, sedikit memberikan suatu pengertian tentang sisi lain dari hati itu sendiri. Bahwa terkadang hati butuh dipaksa melakukan sebuah penerimaan dari yang semula bertolak belakang dengan keinginan.

Hanya ada dua pilihan yang aku punya, meletakkan dan tidak membukanya, atau melanjutkan membaca. Pilihanku jatuh pada melanjutkan membaca, meski seorang teman telah memberikan komentar tentang buku yang dirasa kurang menyenangkan ekspektasinya, meski jauh dalam lubuk hati juga sebenarnya aku malas membaca, tetapi pilihan untuk mengkhatamkan bacaan adalah tepat. Jika tidak, bagaimana mungkin aku menemukan wawasan baru, penambah kosa kataku. Bagaimana mungkin aku mengerti soal teori “Terkadang Hati Butuh Dipaksa” ini? Sederhana bukan sebuah penerimaan itu?


Persoalan paksa memaksa hati ini perlu dibahas, untuk sekadar mengingatkan bahwa kita harus lebih menerima apa yang ada, bersyukur, tepatnya ikhlas. Paksa memaksa tentang pilihan melanjutkan membaca sebuah buku atau tidak, memang terlampau sederhana jika kita membahas paksa memaksa soal hati yang lebih kerasa perangainya. Pada hal apapun nampaknya hati memang butuh sedikit paksaan, meski awalnya tidak menentramkan, namun lambat laun pasti akan terbiasa dan mungkin juga jatuh cinta. Hanya soal waktu, hati yang semula tidak suka menjadi suka, yang semula tidak bisa jadi bisa, yang semula enggan menerima jadi ikhlas menerima, yang semula benci menjadi cinta. Semuanya tergantung bagaimana kita memaksanya, dengan cara dan pengertian apa, supaya pada akhirnya si hati  menerima apa yang di sugestikan tuannya. 

Komentar

Postingan Populer